Berani berpikir besar agaknya sudah lama hilang dari pelajaran
kehidupan kita. Selama lebih dari 30 tahun, Indonesia telah dipimpin leadership yang pragmatis dan ditempa sistem pendidikan yang hanya bisa menjawab why, tapi miskin why not sekaligus how
nya. Televisi hanya mampu menayangkan sinetron rebutan pacar atau
warisan, gumbrang-gambreng anak muda yang riuh bermain dan berjoget,
serta talkshow yang sangat ribut dan gaduh – kecuali beberapa yang terlihat cerdas dan menghibur. Pesannya : Yang Penting Bejo!
Dalam peradaban pop culture ini, semuanya hanyut dalam
kepribadian murah-mudah. Politisinya pun asal adu domba merasa sudah
hebat, cara meraih kekayaan dipertontonkan melalui jalur legislatif
menekan eksekutif, bukan perjuangan dalam membangun inovasi, sistem,
ataupun pelayanan.
Semua itu membuat kita terlena dan tidak terbiasa berpikir dengan
gagasan-gagasan besar. Kini terasa betul sulitnya mengembangkan ide-ide
kreatif dan membangun mimpi-mimpi besar. Para sarjana yang berwirausaha
pun bukan membangun franchise skala global, hanya gerobakchise
yang cuma berani menghadapi pedagang kaki lima yang tak sekolah. Tak
banyak yang tahu, penguasaan tekhnologi ruang angkasa dan udara yang
dimiliki Amerika Serikat sesungguhnya berasal dari pidato John F Kennedy
yang diucapkan pada 1961 :”We choose to go to the moon…we choose to go
to the moon not because it is easy, because it’s hard..” Karena sasaran
besar itulah, karena mau menghadapi tantangan, mau melakukan hal-hal
yang sulit, suatu bangsa akan berubah menjadi bangsa yang besar.
Proyek Besar dari Gagasan Besar.
Cobalah lihat apa warisan besar generasi ini sebagai sebuah bangsa.
Ketika Tiongkok membangun megaproyek South to North Water Transfer
Project yang bertujuan memindahkan air dari selatan ke utara, kita hanya
sibuk mengurus dana saksi pemilu. Jangankan waduk, memanjangkan jalan
tol saja, banyak sekali alasan tidak bisanya. Padahal tahun ini Tiongkok
juga akan memulai pembangunan bandara dengan delapan landasan pacu dan
bisa menampung 130juta penumpang per tahun. Akibat pikiran besar itu
persi seperti kata pepatah : If you want to, you’ll find a way. If you
don’t want to, you’ll find excuses!
Di sebelah kita, Singapura yang mini juga terus meningkatkan
kapasitas pelabuhannya. Sehingga ditargetkan mampu menyaingi pelabuhan
Shanghai di Tiongkok – yang selama ini dikenal sebagai pelabuhan
kontainer terbesar di dunia.
Di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), kita bisa menyaksikan sebuah karya
besar, yakni Burj Khalifa, sebuah gedung yang tingginya enam kali Tugu
Monas. Burj Khalifa (828 meter) yang mendatangkan jutaan turis ke negeri
miskin kekayaan alam ini.
Arab Saudi juga tengah memperluas megaproyek kawasan industri
Jubail-nya dengan Jubal II. Megaproyek ini meliputi kawasan industri
untuk menampung seratus pabrik, unit desalinasasi yang akan menghasilkan
air tawar berkapasitas 800.000 meter kubik, jalur kereta api ribuan
kilometer, jalan tol dan termasuk kilang minyak yang berkapasitas
350.000 barel per hari. Keseluruhan proyek ini dijadwalkan selesai pada
2024.
Saya masih bisa memperpanjang daftar megaproyek yang tengah
dikerjakan bangsa-bangsa lain. Perluasan Terusan Panama, proyek Great
Man-Made River di Libya (untuk mengairi 350.000 hektar lahan), Songdo
International Business District di Seoul, dan masih banyak lainnya.
Karya-karya besar itu mencerminkan seberapa besar pikiran suatu bangsa.
Apakah semua ini karena kutukan “proyek mercusuar” yang dikondisikan
negatif di pelajaran sekolah kita?
Gagasan Orang Besar.
Kita tahu bahwa semua megaproyek berangkat dari gagasan-gagasan besar.
Berangkat dari mimpi-mimpi besar. Megaproyek South to North Water
Transfer Tiongkok beranjak dari mimpi besar Mao Zedong. Begitu pula Burj
Khalifa, termasuk Dubailand yang bermula dari kecemasan mendiang Syekh
Moh. Rasyid Al Mahtum terhadap bakal habisnya cadangan minyak.
Dalam skala menengah, kita memang melihat proyek kawasan industri
Maloy yang tengah dibangun Gubernur Kaltim Awang Faroek dan pembangunan
pelabuhan baru Pelindo II di Jakarta. Tapi kalau melihat dukungan
politik kepada mereka berdua, saya suka miris. Selalu saja ada pihak
yang mengganggu dan ingin mengaduk aduk mencari keuntungan. Mungkin
karena itulah kita tidak punya proyek-proyek berskala mega. Selain
banyak alasan dan gangguan, kita tidak punya banyak pemimpin besar, kita
tidak punya visi yang jauh ke depan. Saya sempat bangga karena kita
berencana membangun megaproyek jembatan Selat Sunda. Sayangnya gagasan
besar ini harus tenggelam begitu saja karena kita kemudian terjebak pada
ribut-ribut masalah administratif dan tidak fair terhadap dunia maritim
yang dibiarkan tertinggal. Kini sepertinya tak jelas bagaimana nasib
mega proyek itu. Kita hanya baru bisa membangun jalan tol di bibir
pantai yang menghubungkan Benoa dengan Nusa Dua di bali yang jaraknya
bisa ditempuh beberapa menit saja.
Bagi saya, terkatung katungnya gagasan besar merupakan cerminan tak
adanya gagasan besar dan betapa lemahnya kepemimpinan, yang tidak berani
berdiri di depan untuk memperkelahikan masa depan. Ketika pantai utara
Jawa diterjang banjir besar, baru terlihat betapa reaktifnya kita.
Saling menyalahkan hanya mencari peluang untuk menang dengan cara
menjatuhkan lawan demi pemilu. Belum terdengar pemimpin yang berbicara
tentang bagaimana mengubah bencana menjadi peluang. Misalnya, bagaimana
menenggelamkan Kampung Pulo yang sudah jadi waduk alam, sekaligus
membebaskan secara besar-besaran kawasan di sekitarnya, lalu membangun
rumah susun murah yang berkualitas menghadap sungai atau waduk yang
indah.
Ah lagi-lagi hanya alasan yang terdengar : Itu tidak mudah. Saya
setuju, memang tidak mudah. Tapi kita tidak akan pernah menghasilkan
karya besar kalau berpikirnya selalu mencari yang mudah. Dan saya tidak
ingin mengajak anda berpikir teknis.
Peter Lange dalam bukunya, The Power of a Dream, mengajak kita untuk
tidak takut bermimpi besar. Dhirubhai Ambani pendiri kerajaan bisnis
Reliance Industries di Mumbai India, mengatakan “Jika tidak berani
bermimpi besar, dan mewujudkannya sendiri, akan ada orang lain yang
menunggangi kita untuk mewujudkannya”. Sayangnya, penunggang itu selalu
orang asing, dan kita cuma berani mengumpat : penjajah sialan!
Sumber:
Rhenald Kasali
http://tangandiatas.com